Laman

Tampilkan postingan dengan label wali. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label wali. Tampilkan semua postingan

Senin, 25 Februari 2013

MANUSIA : basyar, ins, insan, naas, anam


Al-Qur’an diturunkan sebagai rahmat dan hidayah bagi umat manusia. Sudah barang tentu ia tidak akan lalai menggambarkan dan menjelaskan jatidiri manusia yang sebenarnya, agar mereka mengerti dan tidak keliru bersikap. Sungguh, kesalahan-kesalahan terbesar yang menimpa berbagai pemikiran dan filsafat seringkali berawal dari kesalahan definisi atau cara pandang terhadap jatidiri manusia ini.

Definisi “manusia” sendiri telah menjadi obyek perdebatan klasik dalam khazanah pemikiran umat manusia. Mungkin, pertanyaan tentang “siapa aku” sudah setua kehadiran manusia itu sendiri, dan berbagai jawaban telah begitu banyak diberikan. Terkadang, satu sama lain saling bertentangan secara diametral dan tak terjembatani.

Pertanyaannya sekarang, bagaimana Al-Qur’an mendefinisikan “manusia”? 

Sesuai dengan tradisi Islam, sebagaimana dijelaskan sebenarnya ada dua cara untuk memformulasikan sebuah definisi, yaitu hadd ( الحد ) dan rasm ( الرسم ). 
Yang pertama berarti spesifikasi yang tepat atau ringkas tentang karakteristik khas dari sesuatu hal, sedangkan yang terakhir berarti deskripsi sifat dari sesuatu hal. Menurut beliau, perbedaan ini menunjukkan bahwa ada hal-hal yang dapat kita definisikan secara khusus mengenai bagaimana tepatnya dan karakteristiknya yang khas, dan ada pula hal-hal yang mana kita tidak bisa terlalu memastikannya, namun kita hanya dapat memastikan dengan menggambarkan sifat-sifatnya. 

Walaupun sebagian pemikir muslim merumuskan hadd manusia dalam kalimat al-hayawan an-nathiq (hewan yang berpikir), namun – dengan melihat cara Al-Qur’an mendefinisikan manusia – definisi ini belum mencakup keseluruhan karakternya. Dalam hal ini, Al-Qur’an menggunakan rasm dengan menggambarkan sifat-sifat “manusia”, salah satunya dengan memakai istilah berbeda untuk menyebut mereka, yaitu: basy`r, ins, insan, naas, dan anam. Masing-masing istilah ini menunjuk kepada kualitas dan entitas tertentu dalam diri mereka. Mari kita kaji satu persatu.

Pertama, basyar ( البشر ). Disebutkan dalam Al-Mufradat Fi Gharibil Qur’an, bahwa istilah ini berasal dari kata dasar basyarah ( البشرة ), artinya bagian permukaan kulit, sedangkan adamah ( الأدمة ) adalah bagian dalamnya. Manusia disebut dengan basyar karena kulit mereka lebih banyak terlihat di permukaan tubuhnya dibanding rambut, berbeda dengan hewan yang umumnya lebih banyak ditutupi bulu, rambut, dan wool. Dari kata dasar yang bermakna “kulit” ini pula muncul istilah mubasyarah ( المباشرة ), artinya persentuhan kulit dengan kulit secara langsung, dan bangsa Arab memakainya sebagai kiasan dari hubungan suami istri. Kabar gembira juga disebut dengan bisyarah ( البشارة ) dan busyra ( البشرى ), karena ketika seseorang bergembira maka darah menyebar ke seluruh kulitnya sehingga tampak nyata perubahannya, terutama pada wajah. Dengan demikian, ketika manusia disebut basyar dalam bahasa Arab, yang dimaksud adalah entitas fisik yang makan, minum, berjalan di pasar, beranak-pinak, berubah dari kecil menjadi dewasa, dan akhirnya mati. Basyar adalah manusia secara biologis dan fisiologis; sebagai materi di alam raya ini. Ini pula inti gugatan kaum kafir kepada para Nabi yang dikirim kepada mereka, karena secara fisik mereka adalah basyar, makhluk berbadan wadak seperti umatnya. Hanya saja, mereka mendapatkan wahyu dari Allah, dan inilah yang membuat mereka berbeda dari manusia lainnya. Kata basyar muncul 35 kali di dalam Al-Qur’an.

Kedua, ins ( الإنس ). Menurut Dr. ‘Aisyah ‘Abdurrahman Bintu Syathi’ dalam Maqal Fil Insan, kata ini selalu mucul beriringan dengan kata jinn ( الجن ) di dalam Al-Qur’an, sebagai dua istilah yang saling berlawanan; dan jumlahnya ada 18 tempat. Secara bahasa, ins berarti jinak, akrab, ramah, menyenangkan; dan kesan ini berkebalikan dengan istilah jinn yang artinya “tertutup” atau “tersembunyi”, sehingga menimbulkan kesan liar, misterius, menakutkan. Kata ins juga merupakan lawan dari nufur ( النفور ), yakni lari menjauh. Bagian dari seekor hewan yang menjadi tempat paling mudah ditunggangi, yakni punggung, disebut dengan insiyyu ( إنسي ); demikian pula bagian belakang busur yang menghadap ke pemanah. 

Syeikh Raghib al-Ashfahani mengatakan bahwa manusia disebut dengan ins karena mereka tidak bisa hidup tanpa saling akrab dan membantu satu sama lain; atau karena manusia cenderung akrab dengan segala sesuatu yang biasa dilakukannya. Jadi, istilah ins ini merujuk kepada karakter umum jenis manusia yang saling membantu, akrab, dan ramah. Manusia sebagai ins adalah “makhluk sosial” yang cenderung tinggal di keramaian, membentuk keluarga dan kelompok, bekerjasama, dst. Inilah fitrah manusia yang telah Allah tanamkan, berkebalikan dengan bangsa jin yang suka tempat-tempat sunyi, penyendiri, dan cenderung jahat. Jika kita membandingkan sifat-sifat alami manusia dengan sifat-sifat asasi jin – misalnya, yang dijelaskan Al-Qur’an dalam surah al-Jinn – maka kita akan memahami seberapa besar perbedaan diantara kedua makhluk ini, meskipun ada titik-titik persamaan diantara mereka.

Ketiga, insan ( الإنسان ). Analisis yang dilakukan Bintu Syathi’ terhadap penggunaan istilah ini di 65 tempat dalam Al-Qur’an menunjukkan bahwa – secara bahasa – insan memang memiliki akar yang sama dengan ins, namun apa yang ditunjuk olehnya bukan lagi karakter umum seperti sudah disebutkan diatas. Dalam Al-Qur’an, kata insan selalu bermakna kenaikan menuju tingkatan yang membuatnya cakap menjadi khalifah di muka bumi, serta sanggup memikul konsekuensi taklif dan amanah kemanusiaan. Sebab, ia telah diistimewakan dengan ilmu, bayan, akal, dan tamyiz (kemampuan memilah). 

Kenyataan ini disertai dengan aneka rintangan yang pasti menghadangnya berupa ujian baik maupun buruk, fitnah lalai karena merasa kuat dan mampu, ditambah perasaan sebagai makhluk yang menempati posisi tertinggi di alam semesta sehingga bisa menyeretnya menuju kesombongan dan ujub. Perasaan inilah yang seringkali menjerumuskan manusia (insan) dan membuatnya lupa bahwa ia pada dasarnya makhluk yang lemah, yang sedang menempuh kehidupan dunia dari alam tak dikenal menuju alam gaib. Dengan kata lain, ketika disebut sebagai insan, maka yang dimaksud adalah kualitas-kualitas spesifik dan istimewa dalam diri manusia yang membuatnya layak menerima kekhilafahan, taklif, dan dilebihkan diatas malaikat.

Pendeknya, manusia sebagai insan adalah makhluk yang secara sengaja didesain untuk mencicipi pahala dan siksa, karena telah dipersiapkan sedemikian rupa untuk menanggung taklif.

Keempat, naas ( الناس ). Dijelaskan dalam Lisanul ‘Arab, bahwa kata ini berasal dari nawasa ( نوس ), artinya bergerak, tidak menetap pada satu keadaan, bimbang. Aslinya adalah anas ( أناس ), lalu diringankan menjadi naas ( الناس ). Di dalam Al-Qur’an, istilah naas biasanya disebut secara tersendiri, atau menjadi kebalikan dari jinnah (bangsa jin), misalnya dalam surah an-Naas. 

Salah seorang raja Yaman ada yang digelari Dzu Nuwas, karena memiliki dua kepang / kuncir rambut yang bergerak-gerak di pundaknya, atau di punggungnya. Ranting pohon yang kecil dan mudah bergerak ditiup angin disebut dengan yanus ( ينوس ), dan bangsa Arab menyebut seseorang yang tidak bisa tenang / diam sebagai nawwas ( نواس ). Banyak istilah-istilah lain yang berakar dari sini dan seluruhnya mengandung makna tidak tetap atau terus bergerak, seperti nuwwas (sesuatu yang digantung di langit-langit), nuwas (bekas jaring laba-laba yang telah lama ditinggalkan), nuwasi (setandan anggur yang panjang), dll.  

Menurut Bintu Syathi’, kata naas muncul sekitar 240 kali dalam Al-Qur’an, dan biasanya dipakai untuk menyebut spesies makhluk bernama “manusia” secara umum. Tampaknya, ketika manusia disebut dengan naas, yang ditunjuk adalah kecenderungan mereka untuk terus berubah, bergerak, tidak menetap pada satu keadaan, atau berkembang dan dinamis. Mungkin, ini pula yang menjadi rahasia mengapa istilah naas diperlawankan dengan jinnah, sebab bangsa jin cenderung statis dan tidak berkembang kehidupannya. Wallahu a’lam.

Kelima, anam ( الأنام ). Menurut az-Zabidi dalam Tajul ‘Arus, bentuk dasarnya adalah anama ( أنم ), dan ada yang menyatakan pula bahwa aslinya adalah wanama ( ونم ), menjadi wanam ( ونام ), lalu diringankan menjadi anam ( أنام ), artinya: mengeluarkan suara dari dalam dirinya sendiri. Bangsa Arab menggunakan istilah ini untuk menunjuk semua makhluk yang ada di permukaan bumi, termasuk manusia. Di dalam Al-Qur’an, kata ini muncul sekali dalam surah ar-Rahman: 10, dan menurut para mufassir berarti bangsa jin ( الجن ) dan manusia ( الإنس ) sekaligus. Jadi, istilah ini sesungguhnya tidak spesifik menunjuk pada manusia saja.

Singkatnya, Al-Qur’an berusaha menjelaskan kepada kita misteri dan hakikat diri kita sendiri dengan menggambarkan sifat-sifat asasi yang sudah Allah tanamkan. Dapat kita mengerti dari sini bahwa manusia adalah makhluk yang secara fisik berbeda tampilannya dengan hewan pada umumnya, dan ia bisa berbicara atau mengeluarkan suara dari dalam dirinya sendiri. Sedangkan menurut fitrahnya, manusia digambarkan cenderung bersifat ramah, akrab, saling menolong, dinamis, terus bergerak, dan selalu memperbaiki diri, yang mana kualitas-kualitas inilah yang memungkinkan mereka untuk dibekali ilmu, bayan, akal, dan tamyiz yang membuat mereka cakap mengemban kekhilafahan, taklif, dan amanah-amanah lainnya di muka bumi. 

Wallahu a’lam.

Minggu, 27 Januari 2013

TERJEMAH MATAN SAFINATUN NAJAH III


(فصل) النيه ثلاث درجات : إن كانت الصلاة فرضا وجب قصد الفعل والتعيين والفرضية وإن كانت نافلة مؤقتة كراتبة او ذات سبب وجب قصد الفعل والتعيين ، وان كانت نافلة مطلقة وجب قصد الفعل فقط .
الفعل :أصلي والتعيين: ظهرا أو عصرا و الفرضية : فرضا


(Fasal Empat)


Niat itu ada tiga derajat, yaitu:
3. Jika sholat yang dikerjakan fardhu, diwajibkanlah niat qasdul fi’li (mengerjakan shalat tersebut), ta’yin (nama sholat yang dikerjakan) dan fardhiyah (kefardhuannya).
4. Jika sholat yang dikerjakan sunnah yang mempunyai waktu atau mempunyai sebab, diwajibkanlah niat mengerjakan sholat tersebut dan nama sholat yang dikerjakan seperti sunah Rowatib (sebelum dan sesudah fardhu-fardhu).
5. Jika sholat yang dikerjakan sunnah Mutlaq (tanpa sebab), diwajibkanlah niat mengerjakan sholat tersebut saja.
Yang dimaksud dengan qasdul fi’li adalah aku beniat sembahyang (menyenghajanya), dan yang dimaksud ta’yin adalah seperti dzuhur atau asar, adapun fardhiyah adalah niat fardhu.

(فصل) شروط تكبيرة الإحرام : ستة عشرة أن تقع حالة القيام في الفرض وأن تكون بالعربيه وأن تكون بلفظ الجلالة وبلفظ أكبر والترتيب بين اللفظتين وأن لايمد همزة الجلالة وعدم مد باء أكبر وأن لا يشدد الباء وأن لايزيد واواً ساكنة أو متحركة بين الكلمتين ، وأن لايزيد واوا قبل الجلالة وأن لايقف بين كلمتي التكبير وقفة طويلة ولا قصيرة ، وأن يسمع نفسة جميع حروفها ودخول الوقت في المؤقت وإيقاعها حال الإستقبال وأن لا يخل بحرف من حروفها وتأخير تكبيرة المأموم عن تكبيرة الإمام.


(Fasal Lima)


Syarat takbirotul ihrom ada enam belas, yaitu:
1. Mengucapkan takbirotul ihrom tersebut ketika berdiri (jika sholat tersebut fardhu).
2. Mengucapkannya dengan bahasa Arab.
3. Menggunakan lafal “Allah”.
4. Menggunakan lafal “Akbar”.
5. Berurutan antara dua lafal tersebut.
6. Tidak memanjangkan huruf “Hamzah” dari lafal “Allah”.
7. Tidak memanjangkan huruf “Ba” dari lafal “Akbar”.
8. Tidak mentaysdidkan (mendobelkan/mengulang) huruf “Ba” tersebut.
9. Tidak menambah huruf “Waw” berbaris atau tidak antara dua kalimat tersebut.
10. Tidak menambah huruf “Waw” sebelum lafal “Allah”.
11. Tidak berhenti antara dua kalimat sekalipun sebentar.
12. Mendengarkan dua kalimat tersebut.
13. Masuk waktu sholat tersebut jika mempuyai waktu.
14. Mengucapkan takbirotul ihrom tersebut ketika menghadap qiblat.
15. Tidak tersalah dalam mengucapkan salah satu dari huruf kalimat tersebut.
16. Takbirotul ihrom ma’mum sesudah takbiratul ihrom dari imam.


(فصل ) شروط الفاتحة عشرة : الترتيب والموالاة ومراعاة تشديداتها وأن لا يسكت سكتة طويلة ولا قصيرة يقصد قطع القراءة وقراءة كل آياتها ومنها البسملة وعدم اللحن المخل بالمعنى وأن تكون حالة القيام في الفرض ، وأن يسمع نفسة القراءة وأن لا يتخللها ذكر أجنبي .


(Fasal Enam)


Syarat-syarat sah membaca surat al-Fatihah ada sepuluh, yaitu:
1. Tertib (yaitu membaca surat al-Fatihah sesuai urutan ayatnya).
2. Muwalat (yaitu membaca surat al-Fatihah dengan tanpa terputus).
3. Memperhatikan makhroj huruf (tempat keluar huruf) serta tempat-tempat tasydid.
4. Tidak lama terputus antara ayat-ayat al-Fatihah ataupun terputus sebentar dengan niat memutuskan bacaan.
5. Membaca semua ayat al-Fatihah.
6. Basmalah termasuk ayat dari al-fatihah.
7. Tidak menggunakan lahan (lagu) yang dapat merubah makna.
8. Memabaca surat al-Fatihah dalam keaadaan berdiri ketika sholat fardhu.
9. Mendengar surat al-Fatihah yang dibaca.
10. Tidak terhalang oleh dzikir yang lain.

(فصل) تشديدات الفاتحة أربع عشرة : بسم الله فوق اللام ، الرَّحمن فوق الراء ، الرَّحيم فوق الراء ، الحمد لله فوق لام الجلالة ، ربُّ العالمين فوق الباء ، الرَّحمن فوق الراء ،مالك يوم الدِّين فوق الدال ، إيَّاك نعبد فوق الياء ، إيَّاك نستعين فوق الياء ، اهدنا الصِّراط المستقيم فوق الصاد ، صراط الَّذين فوق اللام ، أنعمت عليهم غير المغضوب عليهم ولا الضَّالِّين فوق الضاد واللام .


(Fasal Tujuh)


Tempat-tempat tasydid dalam surah al-fatihah ada empat belas, yaitu:
1. Tasydid huruf “Lam” jalalah pada lafal (الله ).
2. Tasydid huruf “Ra’” pada lafal (( الرّحمن .
3. Tasydid huruf “Ra’” pada lapal ( الرّحيم).
4. Tasydid “Lam” jalalah pada lafal ( الحمد لله).
5. Tasydid huruf “Ba’” pada kalimat (ربّ العالمين ).
6. Tasydid huruf “Ra’” pada lafal (الرّحمن ).
7. Tasydid huruf “Ra’” pada lafal ( الرّحيم).
8. Tasydid huruf “Dal” pada lafal (الدّين ).
9. Tasydid huruf “Ya’” pada kalimat إيّاك نعبد) ).
10. Tasydid huruf “Ya” pada kalimat (وإيّاك نستعين ).
11. Tasydid huruf “Shad” pada kalimat ( اهدنا الصّراط المستقيم).
12. Tasydid huruf “Lal” pada kalimat (صراط الّذين ).
13. Tasydid “Dhad” pada kalimat (ولا الضالين).
14. Tasydid huruf “Lam” pada kalimat (ولا الضالين).

(فصل) يسن رفع اليدين في أربعة مواضع: عند تكبيرة الإحرام وعند الركوع وعند الإعتدال وعند القيام من التشهد الأول .


(Fasal Delapan)


Tempat disunatkan mengangkat tangan ketika shalat ada empat, yaitu:
1. Ketika takbiratul ihram.
2. Ketika Ruku’.
3. Ketika bangkit dari Ruku’ (I’tidal).
4. Ketika bangkit dari tashahud awal.

فصل شروط السجود سبعة : أن يسجد على سبعة أعضاء وأن تكون جبهته مكشوفة والتحامل برأسة وعدم الهوى لغيره وأن لايسجد على شيء يتحرك بحركته وارتفاع أسافلة على أعالية والطمأنينة فية.


(Fasal Sembilan)

Syarat sah sujud ada tujuh, yaitu:
1. Sujud dengan tujuh anggota.
2. Dahi terbuka (jangan ada yang menutupi dahi).
3. Menekan sekedar berat kepala.
4. Tidak ada maksud lain kecuali sujud.
5. Tidak sujud ketempat yang bergerak jika ia bergerak.
6. Meninggikan bagian punggung dan merendahkan bagian kepala.
7. Thuma’ninah pada sujud.

(خاتمة) أعضاء السجود سبعة : الجبهة وبطون الكفين والركبتان وبطون الأصابع والرجلين


Penutup:
Ketika seseorang sujud anggota tubuh yang wajib di letakkan di tempat sujud ada tujuh, yaitu:
1. Dahi.
2. Bagian dalam dari telapak tangan kanan.
3. Bagian dalam dari telapak tangan kiri.
4. Lutut kaki yang kanan.
5. Lutut kaki yang kiri.
6. Bagian dalam jari-jari kanan.
7. Bagian dalam jari-jari kiri.


فصل) تشديدات التشهد إحدى وعشرون : خمس في أكمله وستة عشر في أقلة : التحيات على التاء والياء المباركات الصلوات على الصاد ، الطيبات على الطاء والياء ، لله على لام الجلالة ، السلام على السين ، عليك أيها النبي على الياء والنون والياء ، ورحمه الله على لام الجلاله ، وبركاته السلام على السين ، علينا وعلى عباد الله على لام الجلاله ، الصالحين على الصاد، أشهد أن لاإله على لام ألف ،إلا الله على لام ألف ولام الجلاله، وأشهدأن على النون ، محمدا رسول الله على ميم محمدا وعلى الراء وعلى لام الجلاله


(Fasal Sepuluh)


Dalam kalimat tasyahud terdapat dua puluh satu harakah (baris) tasydid, enam belas di antaranya terletak di kalimat tasyahud yang wajib di baca, dan lima yang tersisa dalam kalimat yang menyempurnakan tasyahud (yang sunah dibaca), yaitu:
1. “Attahiyyat”: harakah tasydid terletak di huruf “Ta’”.
2. “Attahiyyat”: harakah tasydid terletak di huruf “Ya’”.
3. “Almubarakatusshalawat”: harakah tasydid di huruf “Shad”.
4. “Atthayyibaat”: harakah tasydid di huruf “Tha’”.
5. “Atthayyibaat”: harakah tasydid di huruf “ya’”.
6. “Lillaah”: harakah tasydid di “Lam” jalalah.
7. “Assalaam”: di huruf “Sin”.
8. “A’laika ayyuhannabiyyu”: di huruf “Ya’”.
9. “A’laika ayyuhannabiyyu”: di huruf “Nun”.
10. “A’laika ayyuhannabiyyu”: di huruf “Ya’”.
11. “Warohmatullaah”: di “Lam” jalalah.
12. “Wabarakatuh, assalaam”: di huruf “Sin”.
13. “Alainaa wa’alaa I’baadillah”: di “Lam” jalalah.
14. “Asshalihiin”: di huruf shad.
15. “Asyhaduallaa”: di “Lam alif”.
16. “Ilaha Illallaah”: di “Lam alif”.
17. “Illallaah”: di “Lam” jalalah.
18. “Waasyhaduanna”: di huruf “Nun”.
19. “Muhammadarrasulullaah”: di huruf “Mim”.
20. “Muhammadarrasulullaah”: di huruf “Ra’”.
21. “Muhammadarrasulullaah”: di huruf “Lam” jalalah.

(فصل ) تشديدات أقل الصلاة على النبي أربع : اللهم على اللام والميم ، صل على اللام ، على محمد على الميم .

(Fasal Sebelas)


Sekurang-kurang kalimat shalawat nabi yang memenuhi standar kewajiban di tasyahud akhir adalah Alloohumma sholliy ’alaa Muhammad.
(Adapun).harakat tasydid yang ada di kalimat shalawat nabi tersebut ada di huruf “Lam” dan “Mim” di lafal “Allahumma”. Dan di huruf “Lam” di lafal “Shalli”. Dan di huruf “Mim” di Muhammad.



(فصل) أقل السلام : السلام عليكم تشديد السلام على السين 
(Fasal Dua Belas)

Sekurang-kurang salam yang memenuhi standar kewajiban di tasyahud akhir adalah Assalaamu’alaikum. Adapun Harakat tasydid yang ada di kalimat tersebut terletak di huruf “Sin”
Selengkapnya